Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Masalah Qadha Puasa (bagian 6)

Jumat, 03 Mei 24
***

Alhamdulillah. Telah dimaklumi bersama bahwa qadha puasa Ramadhan merupakan kewajiban atas orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena udzur syar’i, seperti safar dan sakit. Sebagaimana firman Allah-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì-,


ÃóíøóÇãðÇ ãóÚúÏõæÏóÇÊò Ýóãóäú ßóÇäó ãöäúßõãú ãóÑöíÖðÇ Ãóæú Úóáóì ÓóÝóÑò ÝóÚöÏøóÉñ ãöäú ÃóíøóÇãò ÃõÎóÑó [ÇáÈÞÑÉ : 184]


(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain... (Qs. al-Baqarah : 184)


Ýóãóäú ÔóåöÏó ãöäúßõãõ ÇáÔøóåúÑó ÝóáúíóÕõãúåõ æóãóäú ßóÇäó ãóÑöíÖðÇ Ãóæú Úóáóì ÓóÝóÑò ÝóÚöÏøóÉñ ãöäú ÃóíøóÇãò ÃõÎóÑó [ÇáÈÞÑÉ : 185]


Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain (al-Baqarah : 185)

Dan, dalam hal qadha (mengganti) puasa yang ditinggalkan ini, ada beberapa masalah yang patut kiranya dimengerti. Di antaranya adalah apa yang telah disebutkan pada bagian pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima tulisan ini, yaitu,

1-Masalah Pertama : Penyegeraan dan Penundaan dalam Mengqadha Puasa Wajib

2-Masalah Kedua : Penundaan Qadha Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya

3-Masalah Ketiga : Wajibnya melanjutkan puasa qadha [1]

4-Masalah Keempat : Mendahulukan puasa sunnah atas puasa qadha

5-Masalah Kelima : Kebolehan Melakukan Qadha secara terpisah-pisah [2]

6-Masalah Keenam : Mengqadha Puasa Ramadhan di Hari-hari Bulan Ramadhan

7-Masalah Ketujuh : Mengqadha Puasa Ramadhan di Hari Raya (Iedul Fithri dan Iedul Adha)

8-Masalah Kedelapan : Mengqadha puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah [3]

9-Masalah Kesembilan : Mengqadha puasa pada hari-hari tasyriq

10-Masalah Kesepuluh : Mengqadha puasa pada hari yang diragukan

11-Masalah Kesebelas : Mengqadha puasa pada hari tertentu yang telah dinazarkan untuk berpuasa

12-Masalah Keduabelas : Mengqadha puasa pada hari Jum’at

13-Masalah Ketiga belas : Mengqadha puasa pada hari Sabtu [4]

14-Masalah Keempat belas : Orang yang Meninggal Dunia Sementara Dia Memiliki Hutang Puasa yang Belum Diqadha[5]

Dalam masalah keempat belas di atas, telah disebutkan bahwa terlewatkannya puasa wajib karena kematian seseorang, bisa jadi karena suatu udzur, bisa jadi pula karena tidak ada uzur. Dan, telah telah diuraikan bahasannya terkait dengan,

Kondisi pertama : terlewatkannya puasa karena adanya udzur

Adapun pada tulisan ini, akan diuraikan bahasan tentang,

Kondisi Kedua : terlewatkannya puasa tanpa adanya udzur.

Bahwa apabila orang yang tidak berpuasa Ramadhan, di mana ia sejatinya berkemungkinan untuk mengqadhanya, dengan telah hilangnya uzurnya sehingga ia menjadi orang yang mampu untuk puasa, namun kemudian ia meninggal dunia sebelum ia berpuasa, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengqadhakan puasanya menjadi beberapa pendapat :

Pendapat pertama : Bahwa wali si mayit diberikan pilihan antara mengqadhakan puasanya dan membayarkan fidyahnya berupa memberikan makan kepada orang miskin.

Ini adalah madzhab kalangan Syafi’iyyah dalam pendapat yang lama, dan dipilih oleh an-Nawawi [6]. Dan, merupakan pendapat kalangan Hanabilah dalam satu riwayat. Dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Abu al-Khaththab dari kalangan Hanabilah [7]

Dan di antara orang dari kalangan Salaf yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Thawus, al-Hasan, az-Zuhri, Qatadah, Abu Tsaur, dan Dawud [8] dan merupakan pilihan Syaikh Islam Ibnu Taimiyah [9]

Al-Baihaqi mengatakan : dan hadis-hadis al-mar’fu’ah (yang disandarkan kepada Nabi) tentang memuasakan orang yang telah meninggal dunia merupakan hadis-hadis yang paling shahih sanadnya dan paling masyhur para rawinya. Dan pengarang dua kitab shahih (yakni, imam al-Bukhari dan imam Muslim) telah meletakkan hadis-hadis tersebut di dalam kitab keduanya, andaikan Syafi’i menelusuri dan mencermati semua jalur periwayatannya dan menampilkannya, niscaya beliau tak akan menyelisihinya, insya Allah. [10]

An-Nawawi mengatakan : Yang benar, dipastikan bolehnya seorang wali memuasakan orang yang telah meninggal dunia berdasarkan hadis-hadis shahih, dan tidak ada yang menyelisihinya, dan jelas bahwa hal ini merupakan madzhab asy-Syafi’, karena beliau mengatakan, “Apabila hadis itu shahih, maka itu adalah madzhabku, dan tinggalkanlah oleh kalian perkataanku yang bertentangan dengannya.” [11]

Dan, Ibnu Hajar mengatakan, “Sesungguhnya hal itu merupakan pendapat kalangan para ahli hadis.” [12]

Pendapat kedua : Bahwa si mayit dibayarkan fidyahnya berupa memberikan makan kepada orang miskin dan tidak diqadhakan puasanya.

Dengan pendapat inilah kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Imam asy-Syafi’i dalam pendapatnya yang baru berpendapat. Dan dengan pendapat ini pula al-Laits, Auza’i, ats-Tsauri, dan al-Hasan dalam satu riwayat berpendapat. [13]

Dan, kalangan Hanafiyah dan Malikiyah mempersyaratkan untuk wajibnya memberikan makan (dibayarkan fidyahnya berupa memberikan makan kepada orang miskin), yaitu, ‘jika si mayit tersebut berwasiat dengan hal tersebut ’ [14] Maka, jika si mayit tidak berwasiat sebelumnya untuk hal tersebut, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya, dan jika pihak ahli waris melakukannya secara suka rela, maka hal tersebut boleh dilakukan.

Dan menurut mereka, wasiat itu wajib ditunaikan bila si mayit memiliki harta yang diambil dari 1/3 harta waris, dan bila si mayit berwasiat dengan lebih dari 1/3 harta warisannya, maka hal pelaksanaannya tergantung kepada kebolehan para ahli warisnya.

Dan kalangan Hanafiyah menambahkan, (kebolehan hal ini) jika si mayit (sebelum kematiannya) mendapatkan sejumlah atau beberapa hari yang memungkinkannya untuk berpuasa yang terlewatkan dalam kondisi sehat, tinggal dan mampu untuk berpuasa.

Sedangkan menurut kalangan Syafi’iyyah, Hanabilah dan satu riwayat dari Malik, bahwa diwajibkan untuk dibayarkan fidyahnya berupa memberi makan (kepada orang miskin), baik si mayit tersebut berwasiat untuk hal tersebut ataukah tidak dari seluruh hartanya. Namun, jika si mayit tidak mempunyai harta warisan maka wali si mayit tidak diharuskan untuk membayarkan fidyahnya berupa memberikan makan kepada orang miskin. Membayarkan fidyahnya bersifat sunnah saja untuk mengosongkan tanggungan si mayit dan untuk melepaskan ketergadean pada dirinya.

Sebagaimana kalangan Syafi’iyyah menaskan bahwasanya pembayaran fidyah si mayit yang diambilkan dari harta warisan hendaknya apa yang dikeluarkan merupakan harta yang lebih dari biaya pengurusan jenazahnya, dan didahulukan atas hutang terhadap orang lain jika memang si mayit memiliki tanggungan hutang [15]

Pendapat ketiga : Si mayit wajib dibayarkan fidyahnya berupa memberikan makan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya. Hal itu berlaku untuk setiap puasa wajib, selain puasa nazar, adapun bila puasa yang ditinggalkannya tersebut adalah puasa nazar, maka disunnahkan untuk diqadhakan puasanya.

Dengan pendapat inilah kalangan Hanabilah berpendapat di dalam kitab-kitab yang diakui di kalangan mereka. [16]

Dengan pendapat ini pula al-Laits, Ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Tsaur dalam satu riwayat, dan Abu Dawud berpendapat [17]

Ibnul Qayyim mengatakan : pendapat ini merupakan madzhab Ahmad yang dinukil dari beliau, dan pendapat ini merupakan pendapat yang paling adil, dan ditunjukkan oleh perkataan para sahabat. Dan dengan pendapat ini hilanglah adanya isykal. Dan, pendaat ini merupakan konsekwensi dalil dan analogi.[18]

Pendapat keempat : Ibnu Hazm berpendapat bahwa kewajiban mengqadhakan puasanya hanya atas wali si mayit saja, bukan yang lainnya, seraya mengatakan, ‘barang siapa meninggal dunia sementara ia memiliki tanggungan puasa wajib, yaitu, mengqadha puasa Ramadhan, atau puasa nazar, atau puasa kafarat yang wajib dilakukan, maka wajib atas wali-walinya untuk mengqadhakan puasanya, mereka semuanya atau sebagian mereka. Dan tidak ada kewajiban sama sekali untuk dibayarkan fidyahnya berupa memberikan makan kepada orang miskin, baik si mayit sebelumnya berwasiat untuk itu atau pun ia tidak berwasiat. Namun, jika si mayit tersebut tidak memiliki seorang wali, maka harus disewakan orang untuk mengqadhakan puasanya dengan upah dari hartanya. Baik si mayit itu berwasiat atau pun tidak berwasiat, dan hal itu (peruntukan harta si mayit untuk membayar orang yang akan mengqadhakan puasanya) lebih dikedepankan atas tanggungan (pelunasan) hutang-hutangnya terhadap orang lain.[19]

Sebab Perbedaan Pendapat

1-Bertolakbelakangnya analogi dengan atsar yang datang dalam tema masalah ini [20]

Maka, kalangan yang mengatakan dikedepankannya analogi atas khabar berpandangan wajibnya membayarkan fidyah berupa memberikan makan kepada orang miskin sebagai ganti puasa wajib yang masih melekat pada orang yang meninggal dunia, dan bahwa mengqadhakan puasanya tidaklah sah. Sementara yang mengatakan dikedepankannya atsar atas analogi berpandangan bolehnya mengqadhakan puasa orang yang telah meninggal dunia.

2-Fatwa perawi hadis berbeda dengan apa yang diriwayatkannya secara marfu’.

Maka, yang mengatakan bahwa yang menjadi patokan adalah apa yang difatwakan oleh si perawi bukan apa yang diriwayatkannya, mengatakan, ‘bolehnya membayarkan fidyah berupa memberikan makan kepada orang miskin sebagai ganti puasa wajib yang masih berada pada tanggungan orang yang telah meninggal dunia.

Sementara yang mengatakan bahwa yang menjadi patokan adalah apa yang diriwayatkan si perawi bukan apa yang difatwakannya, mengatakan ‘bolehnya mengqadhakan puasa orang yang telah meninggal dunia.’

Dalil-dalil :

Dalil-dalil pendapat pertama : (Memberikan pilihan kepada wali antara memuasakan dan membayarkan fidyahnya).

Kalangan yang berpendapat bahwa wali si mayit diberikan pilihan antara mengqadhakan puasa dan membayarkan fidyahnya berdalil dengan menggabungkan antara dalil-dalil yang memerintahkan untuk mengqadhakan puasa si mayit dan dalil-dalil penggantian puasa dengan membayarkan fidyah berupa memberi makan kepada orang miskin.[21]

Adapun membayarkan fidyahnya berupa memberikan makan kepada orang miskin, akan disebutkan pada dalil-dalil pendapat kedua, adapun mengqadhakan puasanya, dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :

1-Firman-Nya,


ãöäú ÈóÚúÏö æóÕöíøóÉò íõæÕöí ÈöåóÇ Ãóæú Ïóíúäò


(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan telah dibayar) utangnya. [22]

Ayat ini bersifat umum, mencakup segala bentuk hutang, dan puasa wajib yang menjadi tanggungan orang yang meninggal dunia merupakan hutang yang ditanggung dirinya, maka wajib diqadhakan oleh pihak walinya.

2-Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari jalan Amru bin al-Haris, dari Ubaidillah bin Abi Ja’far bahwa Muhammad bin Ja’far menceritakan kepadanya, dari Urwah dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-bersabda :


ãóäú ãóÇÊó æóÚóáóíúåö ÕöíóÇãñ ÕóÇãó Úóäúåõ æóáöíøõåõ


“Barang siapa meninggal dunia sementara dirinya memiliki tanggungan puasa , maka walinya menqadhakan puasanya.” [23]

Dan masuk dalam hal tersebut puasa wajib.

3-Apa yang diriwayatkan imam Muslim dari jalan Ali bin Mishar Abi al-Hasan, dari Abdullah bin Atha, dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, ia berkata, ‘Saat kami tengah duduk di sisi Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-, tiba-tiba ada seorang wanita datang menemui beliau, lalu wanita tersebut mengatakan, ‘Aku bersedekah atas nama ibuku dengan membebaskan seorang budak wanita, sementara ibuku tersebut telah meninggal dunia.’ Lalu beliau -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-mengatakan,


« æóÌóÈó ÃóÌúÑõßö æóÑóÏøóåóÇ Úóáóíúßö ÇáúãöíÑóÇËõ »


‘Pahalamu telah engkau dapatkan dan warisanya dikembalikan kepadamu’

Wanita tersebut berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah ! Dulu, Ibuku itu memiliki tanggungan puasa sebulan, bolehkah aku mengqadhakan puasanya ? Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó –menjawab, « Õõæãöì ÚóäúåóÇ » ‘qadhakanlah puasanya.’

Lalu, wanita itu berkata lagi, ‘Sesungguhnya beliau (ibuku) belum pernah berhaji sama sekali, bolehkah aku menghajikan untuknya ? Nabi menjawab, « ÍõÌøöì ÚóäúåóÇ » (berhajilah kamu untuknya).

Dalam satu riwayat imam Muslim dari Ibnu Buraidah dari jalan lain, di dalamnya terdapat ungkapan : Õõæúãöí ÔóåúÑóíúäö (Bepuasalah kamu dua bulan) [24]

Dan ini mencakup puasa Ramadhan dan puasa yang lainnya, karena Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-tidak merincinya, sedangkan dalam kaedah disebutkan bahwa meninggalkan perincian padahal hal tersebut diperlukan dalam penyampaian penjelasan berkonsekwensi berlaku umum [25]

4-Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari jalan al-A’masy, dari Muslim al-Bathin, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia berkata,


ÌóÇÁó ÑóÌõáñ Åöáóì ÇáäøóÈöíøö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÝóÞóÇáó íóÇ ÑóÓõæáó Çááøóåö Åöäøó Ãõãøöí ãóÇÊóÊú æóÚóáóíúåóÇ Õóæúãõ ÔóåúÑò ÃóÝóÃóÞúÖöíåö ÚóäúåóÇ ÞóÇáó äóÚóãú ÞóÇáó ÝóÏóíúäõ Çááøóåö ÃóÍóÞøõ Ãóäú íõÞúÖóì


‘Seorang lelaki datang menemui Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-lalu ia mengatakan, ‘Ya Rasulullah ! Ibuku meninggal dunia, sementara ia masih memiliki hutang puasa sebulan, bolehkah aku mengqadhakannya ? Beliau menjawab, ‘Iya.’(boleh), beliau bersabda, ‘Karena hutang Allah lebih berhak untuk ditunaikan.’ [26]

5-Apa yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari jalan Zaed bin Abi Anisah, (ia berkata) telah menceritakan kepada kami al-Hakam bin Utaibah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas-ÑóÖöíó Çááåõ ÚóäúåõãóÇ-, ia berkata,


ÌóÇÁóÊö ÇãúÑóÃóÉñ Åöáóì ÑóÓõæáö Çááøóåö -Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- ÝóÞóÇáóÊú íóÇ ÑóÓõæáó Çááøóåö Åöäøó Ãõãøöì ãóÇÊóÊú æóÚóáóíúåóÇ Õóæúãõ äóÐúÑò ÃóÝóÃóÕõæãõ ÚóäúåóÇ ÞóÇáó « ÃóÑóÃóíúÊö áóæú ßóÇäó Úóáóì Ãõãøößö Ïóíúäñ ÝóÞóÖóíúÊöíåö ÃóßóÇäó íõÄóÏøöì Ðóáößó ÚóäúåóÇ ». ÞóÇáóÊú äóÚóãú. ÞóÇáó « ÝóÕõæãöì Úóäú Ãõãøößö ».


‘Seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah, lalu ia mengatakan, ‘Ya Rasulullah ! Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia sementara ia memiliki hutang puasa nazar, bolehkah aku mengqadhakannya ? Nabi bersabda, ‘Bagaimana pendapatmu, Andaikan ibumu mempunyai tanggungan hutang, lalu engkau melunasinya, apakah hal tersebut berarti telah melunasi hutangnya.’ Ia pun menjawab, ‘Iya.’ Beliau bersabda, ‘Maka, berpuasalah engkau untuk mengqadhakan puasa ibumu.’ [27]

Sisi Pendalilan dari Hadis-hadis di atas :

Hadis-hadis di atas menunjukkan bolehnya seorang wali mengqadhakan puasa orang yang meninggal dunia, dan bahwa mengqadhakan puasa orang yang telah meninggal dunia itu sah, seperti halnya sahnya pelunasan utangnya. Dan, tidak disebutkannya ‘memberi makan’ di dalam hadis-hadis tersebut termasuk hal yang menunjukkan bahwa hal tersebut tidaklah wajib. Sedangkan ungkapan, ‘æóÚóáóíúåö ÇáÕøöíóÇãõ " (Sementara ia memiliki tangggungan puasa) dengan keumumannya menunjukkan bolehnya seseorang menggantikan orang lain untuk melakukan puasa wajib, seperti puasa Ramadhan, atau puasa nazar, atau puasa kafarat.

Juga, bahwa lafadz “ãóäú ãóÇÊó “ (barang siapa meninggal dunia) dengan keumumannya mencakup setiap orang yang telah mukallaf yang meninggal dunia sementara ia memiliki tanggungan puasa. [28]

Al-Baihaqi mengatakan : dengan hadis-hadis ini tetaplah kebolehan mengqadhakan puasa orang yang telah meninggal dunia. Dan, imam asy-Syafi’i di dalam pendapatnya yang lama, mengatakan, ‘Telah diriwayatkan hadis tentang mengqadhakan puasa orang yang telah meninggal dunia, maka jika hadis tersebut valid, maka boleh si mayit diqadhakan puasanyanya, seperti halnya dibolehkan untuk dihajikan oleh orang lain. [29]

Dan, imam an-Nawawi mengatakan : hadis-hadis ini shahih lagi jelas menunjukkan kebolehan seorang wali untuk mengqadhakan puasa orang yang telah meninggal dunia. Sehingga layak diamalkan karena tidak adanya hal yang bertentangan dengan hadis-hadis tersebut.[30]

Dalil-dalil pendapat kedua :

1-Firman-Nya,


æóáóÇ ÊóÒöÑõ æóÇÒöÑóÉñ æöÒúÑó ÃõÎúÑóì


Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain [31]

Dan firman-Nya,


æóÃóäú áóíúÓó áöáúÅöäúÓóÇäö ÅöáøóÇ ãóÇ ÓóÚóì


Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.[32]

Dan selain kedua ayat tersebut yang menunjukkan bahwa seseorang tidaklah memikul dosa orang lain dan tidak pula mengambil manfaat dari amal yang dilakukan oleh orang lain. Dan, atas dasar hal tersebut maka seseorang tidak dapat mengqadhakan puasa orang lain.

2-Firman-Nya,


æóÚóáóì ÇáøóÐöíäó íõØöíÞõæäóåõ ÝöÏúíóÉñ ØóÚóÇãõ ãöÓúßöíäò


Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin [33]

Sisi pendalilannya : Bahwa memberi makan merupakan ganti puasa-dalam pandangan pembuat syariat-ketika tidak mampu berpuasa, baik dalam keadaan hidup sebagaimana ungkapan nash, atau ketidak mampuan itu terjadi karena adanya kematian seperti yang diisyaratkan oleh nash, dan bisa jadi ketidakmampuan itu terjadi dalam kondisi kematian berdasarkan petunjuk nash, di mana kelemahan itu lebih kuat, sehingga petunjuk ayat dalam hal kematian lebih utama.

Berdasarkan satu dalil bahwa yang valid dari riwayat Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut diberlakukan untuk orang yang telah lanjut usia, di mana ia berkewajiban membayar fidyah, andaikan boleh kewajiban puasanya dilakukan oleh orang lain, niscaya tidak akan ada pendapat yang mewajibkan orang tersebut untuk membayar fidyah. Hal ini termasuk perkara yang menunjukkan bahwa ‘memberi makan’ merupakan pengganti puasa dalam tuntunan syariat, dan bahwa hal itulah yang lebih cocok untuk mengantikan puasa daripada yang lainnya.[34]

3-Hadis Abu Hurairah-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ -bahwa Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó-bersabda,


ÅöÐóÇ ãóÇÊó ÇáÅöäúÓóÇäõ ÇäúÞóØóÚó Úóãóáõåõ ÅöáÇøó ãöäú ËóáÇËóÉö ÕóÏóÞóÉò ÌóÇÑöíóÉò ¡ Ãóæú Úöáúãò íõäúÊóÝóÚõ Èöåö Ãóæú æóáóÏò ÕóÇáöÍò íóÏúÚõæ áóåõ


Apabila seseorang meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali tiga hal ; sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya.

Sisi pendalilannya : hadis ini menunjukkan bahwa mayit (orang yang meninggal dunia) tidak dapat mengambil manfaat setelah kematiannya kecuali dalam hal-hal yang disebutkan dalam hadis ini, sementara penyebutan hal-hal tersebut menggunakan ungkapan pembatasan, maka si mayit tidak akan mendapatkan kemanfaatan dengan tindakan orang lain yang mengqadhakan puasanya karena hal tersebut tidak disebutkan di dalam hadis ini. [35]

Maka, ketika dibatasi dapatnya seorang mayit mengambil manfaat dari amal orang lain berupa hal-hal yang disebutkan, hal itu menunjukkan bahwa amal-amal yang lainnya yang tidak disebutkan di dalamnya si mayit tak akan dapat mengambil manfaatnya, termasuk bila amal tersebut berupa puasa. Maka, jika wali si mayit mengqadhakan puasanya, maka amal tersebut tidak akan diterima.

4-Apa yang diriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøãó- tentang orang yang sakit pada bulan Ramadhan, kemudian orang tersebut meninggal dunia. Maka, beliau bersabda,


Åöäú ßóÇäó ÞóÈúáó Ãóäú íõØöíúÞó ÇáÕøóæúãó ÝóáóÇ ÔóíúÁó Úóáóíúåö æóÅöäú ÃóØóÇÞó ÇáÕøóæúãó æóáóãú íóÕõãú ÍóÊøóì ãóÇÊó ÝóáúíóÞúÖö Úóäúåõ


“Jika hal tersebut terjadi sebelum ia mampu untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban apa pun atas dirinya, dan jika ia mampu berpuasa sedangkan ia tidak berpuasa hingga meninggal dunia, maka hendaknya diqadhakan puasanya.”

As-Sarkhasiy dan al-Kasa-iy mengatakan : yang dimaksud ‘mengqadhakannya’ adalah membayarkan fidyahnya, yaitu memberikan makan kepada orang miskin, bukan mengqadhakan puasanya. [36]

5-Apa yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari al-Aslamiy, dari al-Hajjaj bin Arthah, dari Ubadah bin Nasiy. Ia berkata, Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó- ,


ãóäú ãóÑöÖó Ýöí ÑóãóÖóÇäó Ýóáóãú íóÒóáú ãóÑöíúÖðÇ ÍóÊøóì ãóÇÊó áóãú íõØúÚöãú Úóäúåõ æóÅöäú ÕóÍøó Ýóáóãú íóÞúÖöåö ÍóÊøóì ãóÇÊó ÃõØúÚöãó Úóäúåõ


Barang siapa sakit di bulan Ramadhan, lalu ia masih saja sakit hingga meninggal dunia, maka tidak dibayarkan fidyahnya berupa memberikan makan kepada orang miskin, dan jika ia sehat (sembuh) namun ia belum mengqadhanya hingga ia meninggal dunia, maka dibayarkan fidyahnya berupa memberi makan orang miskin. [37]

6-Apa yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalan Muhammad dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Nabi-Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó -, beliau bersabda,


ãóäú ãóÇÊó æóÚóáóíúåö ÕöíóÇãõ ÔóåúÑò ÝóáúíõØúÚöãú Úóäúåõ ãóßóÇäó ßõáøö íóæúãò ãöÓúßöíúäó


“Barang siapa meninggal dunia sementara ia masih memiliki tanggungan puasa sebulan (Ramadhan), maka hendaknya dibayarkan fidyahnya berupa memberikan makan kepada orang miskin sebagai ganti setiap hari (puasa yang ditanggungnya).”[38]

Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang meninggal dunia sementara ia masih memiki tanggungan puasa, maka dibayarkan fidyahnya berupa memberi makan (kepada orang miskin) sebagai pengganti dari puasa yang ditanggungnya.

7-Apa yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari jalan Muhammad bin Ishaq, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Ruh, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin al-Akhnas, dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar berkata,


ãóäú ãóÇÊó æóÚóáóíúåö ÕöíóÇãõ ÑóãóÖóÇäó ÝóáúíõØúÚöãú Úóäúåõ ãóßóÇäó ßõáøö íóæúãò ãöÓúßöíúäðÇ ãõÏøðÇ ãöäú ÍöäúØóÉò


Barang siapa meninggal dunia sementara ia memiliki tanggungan puasa Ramadhan, maka hendaknya dibayarkan fidyahnya berupa memberi makan seorang miskin sebanyak satu mud gandum sebagai ganti setiap hari (puasa yang ditanggungnya).

8-Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, ia berkata, ‘Barang siapa mendapati bulan Ramadhan berikutnya sementara ia masih sakit, ia belum saja sembuh dalam rentang waktu antara dua Ramadhan tersebut, maka puasa terakhir yang ditanggungnya diqadhakan puasanya, dan puasa pertama yang ditanggungnya dibayarkan fidyahnya dengan memberikan makan (kepada orang miskin) sebesar satu mud gandum, dan tidak perlu diqadhakan puasanya.[39]

9-Apa yang diriwayatkan imam Malik, dari Ibnu Umar,


áóÇ íõÕóáøöí ÃóÍóÏñ Úóäú ÃóÍóÏò æóáóÇ íóÕõæúãõ ÃóÍóÏñ Úóäú ÃóÍóÏò


Seseorang tidak boleh shalat menggantikan orang lain, dan tidak boleh (pula) seseorang berpuasa menggantikan orang lain

10-Ibnu Hazm meriwayatkan dari Hamad bin Salamah, dari Ayyub as-Sikhtiyani, dari Abu Yazid al-Madaniy; bahwa ada seorang lelaki mengatakan kepada saudaranya saat hendak meninggal dunia, ‘Sesungguhnya aku mempunyai hutang puasa dua Ramadhan yang belum aku qadha. Lalu, saudaranya tersebut bertanya kepada Ibnu Umar, maka Ibnu Umar menjawab, ‘dua ekor unta yang diberi tanda’ (yang disembelih untuk diberikan kepada orang miskin sebagai fidyahnya). Kemudian, saudaranya tersebut bertanya kepada Ibnu Abbas, maka Ibnu Abbas pun menjawab, ‘ Semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman (yakni, Ibnu Umar) , ‘Apa urusannya dengan unta itu dan pengqadhaan puasanya. Bayarkanlah fidyah saudaramu dengan memberikan makan kepada 60 orang miskin.” [40].

11-Dan Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ja’far bin Barqan, dari Maimun ibnu Mihran, ia mengatakan, Aku pernah duduk di sisi Ibnu Abbas, tiba-tiba ada seorang lelaki menghampirinya, lalu ia mengatakan (kepadanya), ‘Aku memiliki tanggungan puasa dua Ramadhan berturut-turut’ (apa yang hendaknya aku lakukan ?). Ibnu Abbas-ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõ – bertanya (kepadanya), ‘Demi Allah, apakah benar demikian ini yang terjadi ?’ lelaki itu menjawab, ‘Iya.’ (benar). Ibnu Abbas mengatakan, ‘Tidak.’ Rawi mengatakan, ‘maka lelaki itu pergi. Kemudian, datanglah laki-laki lainnya, lalu ia mengatakan,’Sesungguhnya ada seorang lelaki yang memiliki tangggungan puasa dua Ramadhan berturut-turut, Ibnu Abbas mengatakan : Demi Allah, apakah ini benar ? lelaki itu menjawab, ‘Iya.’ (benar). Ibnu Abbas mengatakan :


ÅöÍúÏóì ãöäú ÓóÈúÚò íóÕõæúãõ ÔóåúÑóíúäö æóíõØúÚöãõ ÓöÊøöíúäó ãöÓúßöíúäðÇ


ÅöÍúÏóì ãöäú ÓóÈúÚò [41] ia berpuasa dua bulan dan memberi makan 60 orang miskin [42]

12-Dan Abdurrazzaq meriwayatkan dari ats-Tsauri, dari Abu Hushain, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang orang yang jatuh sakit pada bulan Ramadhan, lalu masih saja sakit hingga ia meninggal dunia, ia mengatakan :


áóíúÓó Úóáóíúåö ÔóíúÁñ, ÝóÅöäú ÕóÍøó Ýóáóãú íóÕõãú ÍóÊøóì ãóÇÊó ÃõØúÚöãó Úóäúåõ ßõáøó íóæúãò äöÕúÝö ÕóÇÚò ãöäú ÍöäúØóÉò


Tidak ada kewajiban apa pun atas dirinya, namun jika ia sempat sehat namun ia tidak berpuasa hingga ia meninggal dunia, maka dibayarkan fidyahnya dengan memberikan makan kepada orang miskin sebesar setengah sha’ gandum untuk setiap harinya.

13-Dan Abdurrazzaq juga meriwayatkan dari Ma’mar, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Muhammad Ibnu Abdirrahman bin Tsauban al-Anshari, dari Ibnu Abbas, tentang seseorang yang meninggal dunia sementara ia memiliki kewajiban untuk mengqadha puasanya, dan ia pun memiliki tanggungan Nazar puasa sebulan yang lain, Ibnu Abbas mengatakan,


íõØúÚöãõ Úóäúåõ ÓöÊøõæúäó ãöÓúßöíúäðÇ


Dibayarkan fidyahnya dengan memberikan makan kepada 60 orang miskin .

14-ath-Thahawi meriwayatkan, ia mengatakan : telah menceritakan kepada kami Ruh bin al-Farj, (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Yusuf Ibnu ‘Adiy, (ia berkata), telah mengkhabarkan kepada kami Ubaidah bin Humaid, dari Abdul Aziz bin Rafi’, dari Amrah putri Abdurrahman, ia berkata, aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah, aku katakan kepadanya, ‘Sesunggguhnya ibuku meninggal dunia sementara ia memiliki tanggungan puasa Ramadhan, layakkah aku mengqadhakan puasanya ? Aisyah menjawab,


áóÇ, æóáóßöäú ÊóÕóÏøóÞöí ÚóäúåóÇ ãóßóÇäó ßõáøö íóæúãò Úóáóì ãöÓúßöíúäò, ÎóíúÑñ ãöäú ÕöíóÇãößó ÚóäúåóÇ


Tidak (tidak layak), akan tetapi bersedekahlah atas namanya kepada orang miskin untuk menggantikan puasa yang belum diqadhanya setiap harinya. Hal itu lebih baik daripada puasamu untuk mengqadhakan puasanya. [43]

Al-Baihaqi mengatakan : dan diriwayatkan dari jalur yang lain dari Aisyah,


áóÇ ÊóÕõæúãõæúÇ Úóäú ãóæúÊóÇßõãú æóÃóØúÚöãõæúÇ Úóäúåõãú


Janganlah kalian mengqadhakan puasa orang-orang yang telah meninggal dunia di kalangan kalian. Tapi, bayarkanlah fidyah mereka berupa memberikan makan kepada orang miskin [44]

Sisi pendalilan atsar ini :

Cukup nampak petunjuk yang dimaksudkan, bahkan atsar tersebut menempati hukum marfu’, karena atsar-atsar tersebut dalam perkara yang tidak ada peluang untuk berijtihad di dalamnya, karena zhahir keadaan para sahabat tidaklah mereka mengatakan hal tersebut melainkan berdasarkan petunjuk (yang mereka ketahui dari Nabi).

15-Apa yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i dari jalan Yazid –ia adalah Ibnu Zurai’- (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Hajjaj al-Ahwal, (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Ayub bin Musa, dari Atha bin Abi Rabah, dari Ibnu Abbas, (ia berkata) :


áóÇ íõÕóáøö ÃóÍóÏñ Úóäú ÃóÍóÏò æóáóÇ íóÕõæúãõ ÃóÍóÏñ Úóäú ÃóÍóÏò, æóáóßöäú íõØúÚöãõ Úóäúåõ ãóßóÇäó ßõáøö íóæúãò ãõÏøðÇ ãöäú ÍöäúØóÉò


Seseorang tidak boleh shalat menggantikan orang lain, tidak boleh pula berpuasa menggantikan orang lain, akan tetapi (ia boleh) membayarkan fidyahnya yaitu memberi makan kepada orang miskin sebesar satu mud gandum sebagai ganti setiap hari (puasa yang belum diqadha).

16-Apa yang diriwayatkan Abdurrazzaq dari Ibnu at-Taimi, dari ayahnya, bahwa Umar bin Khaththab berkata :


ÅöÐóÇ ãóÇÊó ÇáÑøóÌõáõ æóÚóáóíúåö ÕöíóÇãõ ÑóãóÖóÇäó ÂÎóÑó ÃõØúÚöãó Úóäúåõ Úóäú ßõáøö íóæúãò äöÕúÝö ÕóÇÚò ãöäú ÈõÑøò


Apabila seseorang meninggal dunia sementara ia memiki tanggungan puasa Ramadhan yang lain, maka dibayarkan fidyahnya dengan memberi makan kepada orang miskin setiap harinya setengah sha gandum.

17-Ijma’ penduduk Madinah akan tidak bolehnya menggantikan orang lain untuk berpuasa.

Imam Malik mengatakan : Aku belum pernah mendengar dari seorang pun kalangan Sahabat, tidak pula kalangan Tabi’in di Madinah bahwa salah seorang dari mereka memerintahkan seseorang untuk berpuasa menggantikan orang lain, tidak pula untuk shalat menggantikan orang lain, yang ada adalah masing-masing orang melakukannya untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang melakukan amal untuk orang lain. [45]

19-Sesungguhnya puasa ketika terlewatkan maka dibutuhkan adanya yang menutupinya, sementara penambalannya tidak mungkin dilakukan dengan berpuasa pula, karena si mayit (orang yang telah meningal dunia) tidak akan mampu melakukannya, maka hal itu ditambal dengan dibayarkan fidyah, dan pembayaran fidyah dijadikan sebagai ganti untuk puasa (dibolehkan) secara syar’i, sementara harta yang ditinggalkan oleh si mayit mungkin digunakan untuk membayarkan hutang ini yang merupakan hutang kepada Allah, maka ketika itu, diwajibkan untuk dibayarkan fidyahnya dengan memberikan makan kepada orang miskin [46]

20-Karena makna ibadah yang terdapat dalam puasa sejak permulaannya merupakan perkara yang memberatkan badannya, yaitu, mengekang diri dari dorongan syahwat-syahwat, dan juga sejauh mana ketundukan jiwa dan perendahan dirinya kepada penciptanya, sedangkan penggantiannya oleh orang lain menafikan maksud ini dan berlawanan dengannya.[47]

21-Sesungguhnya asal yang bersifat umum dalam Syariat adalah tidak sahnya tindakan seseorang menggantikan orang lain dalam melaksanakan ibadah-ibadah badaniyah mahdhah, dan tidak mengjadikan kosongnya tanggungan pada seseorang karena amal yang dilakukan oleh orang lain, dan bahwa setiap diri dibalas dengan apa yang diupayakannya, bukan karena apa yang diupayakan oleh orang lain, berdasarkan firman-Nya,


æóáóÇ ÊóßúÓöÈõ ßõáøõ äóÝúÓò ÅöáøóÇ ÚóáóíúåóÇ æóáóÇ ÊóÒöÑõ æóÇÒöÑóÉñ æöÒúÑó ÃõÎúÑóì [ÇáÃäÚÇã : 164]


Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain [48]

Dan firman-Nya,


æóÃóäú áóíúÓó áöáúÅöäúÓóÇäö ÅöáøóÇ ãóÇ ÓóÚóì [ÇáäÌã : 39]


Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya [49]

22-Bahwa puasa merupakan ibadah tidak sah dengan digantikan oleh orang lain dalam pelaksanaannya saat seseorang masih hidup, maka demikian pula setelah kematiannya seperti halnya shalat. [50]

Dalil-dalil Pendapat ketiga :

Kalangan yang berpendapat wajibnya mebayarkan fidyah dengan membari makan kepada orang miskin sebagai ganti (qadha) puasa wajib yang ditanggung oleh seseorang selain puasa Nazar dan yang berpendapat disunnahkannya puasa si wali dalam kasus puasa nazar, mereka berdalil dengan beberapa hal sebagai berikut :

1-Bahwa datang dalam sebagian riwayat hadis Ibnu Abbas –yang telah disebutkan- hal yang menunjukkan bahwa pertanyaan yang diajukan adalah tentang mengqadhakan pusa nazar orang yang telah meninggal dunia, telah datang dalam satu riwayat dengan ungkap yang jelas :


‘ æóÚóáóíúåóÇ Õóæúãõ äóÐóÑò ‘


(sementa ia memiliki tanggungan puasa nazar),

Dan dalam satu riwayat :


Åöäøó ÇöãúÑóÃóÉð ÑóßöÈóÊú ÇáÈøóÍúÑó ÝóäóÐóÑóÊú Åöäú äóÌóÇåóÇ Çááåõ Ãóäú ÊóÕõæúãó ÔóåúÑðÇ


Sesungguhnya seorang wanita menaiki kapal di laut, lalu ia bernazar jika Allah menyelamatkannya, niscaya ia akan berpuasa selama sebulan.

Dalam riwayat lain :


æóÚóáóíúåóÇ Õóæúãõ ÔóåúÑóíúäö ãõÊóÊóÇÈöÚóíúäö


Sedangkan ia memiliki tanggungan puasa dua bulan berturut-turut.

Perkataannya ‘dua bulan’ jauh kalau dimaknai bahwa itu adalah puasa Ramadhan, karena kalaulah wajibnya berpuasa dua bulan tersebut merupakan qadha puasa Ramadhan, tidaklah wajib dilakukan secara berturut-turut, dan membawa pemahamannya kepada bahwa itu adalah puasa kafarat cukup jauh karena jarangnya hal seperti itu terjadi [51]

Atas dasar ini, maka keumuman riwayat-riwayat yang marfu’ dibawa pemahamannnya kepada dikhususkan untuk puasa nazar yang disebutkan dalam sebagian riwayat Ibnu Abbas, untuk mengompromikan antara dalil-dalil yang ada. Sehingga yang dimaksudkan dengan ‘mengqadhakan puasa orang yang meninggal dunia’ yang disebutkan dalam hadis-hadis yang berisikan perintah untuk mengqadhakan puasa orang yang telah meninggal dunia adalah dalam kasus puasa nazar saja. Adapun untuk puasa wajib selain puasa nazar, maka dibayarkan fidyahnya dengan memberikan makan kepada orang miskin. Jadi, hadis-hadis yang membolehkan mengqadhakan puasa orang yang telah meninggal dunia dibawa pemahamannya kepada puasa nazar, sedangkan hadis-hadis yang membolehkan untuk membayarkan fidyah dengan memberikan makan kepada orang miskin dibawa pemahamannya kepada puasa wajib selain puasa nazar.[52] Sebagai bentuk untuk menolak adanya pertentangan.

2-Apa yang datang dari Ibnu Abbas berupa atsar-atasar di mana ia menyebutkan secara jalas di dalamnya tentang perbedaan antara puasa Nazar dan puasa Ramadhan dalam hal hukum memberikan makan (kepada orang miskin) :

Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalan Sufyan, dari Abu Hushain, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia berkata :


ÅöÐóÇ ãóÑöÖó ÇáÑøóÌõáõ Ýöì ÑóãóÖóÇäó Ëõãøó ãóÇÊó æóáóãú íóÕõãú ÃõØúÚöãó Úóäúåõ æóáóãú íóßõäú Úóáóíúåö ÞóÖóÇÁñ æóÅöäú ßóÇäó Úóáóíúåö äóÐúÑñ ÞóÖóì Úóäúåõ æóáöíøõåõ


Apabila seseoarng sakit pada bulan Ramadhan kemudian ia meninggal dunia sementara ia belum sempat mengqadha puasanya, maka dibayarkan fidyahnya dengan memberikan makan kepada orang miskin, puasanya tidak wajib untuk diqadhakan. Dan jika ia memiliki hutang puasa nazar, maka walinya mengqadhakan puasanya. [53]

3-Karena penggantian amal oleh orang lain masuk dalam kasus ibadah sesuai dengan keringanannya, dan nazar lebih ringan hukumnya, karena keadaannya yang diwajibkan dengan asal syariat, tetapi seseorang mewajibankannya atas dirinya sendiri.

Dalil Pendapat keempat : (Dalil Ibnu Hazm)

1-Firman-Nya-ÓõÈúÍóÇäóåõ æóÊóÚóÇáóì- :


ãöäú ÈóÚúÏö æóÕöíøóÉò íõæÕöí ÈöåóÇ Ãóæú Ïóíúäò


(Pembagian-pembagian tersebut) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya [54]

2-Hadis ‘Aisyah dan Ibnu Abbas yang telah lalu di mana mereka membawa pemahaman perintah yang datang dalam kedua hadis tersebut sebagai sesuatu yang wajib, sebagaimana hal itu berlaku pada asalnya, dan mereka mengatakan : adapun hadis ‘ÕóÇãó Úóäúåõ æóáöíøõåõ’ (walinya mengqadhakan puasanya), maka ungkapan tersebut merupakan berita bermakna perintah, takdirnya, ‘maka hendaklah walinya mengqadhakan puasanya.’

Pendapat yang Kuat :

Pendapat yang kuat-Wallahu A’lam-adalah pendapat yang memberikan pilihan antara mengqadhakan puasanya dan membayarkan fidyahnya berupa memberi makan orang miskin, karena hal tersebut menggabungkan antara dalil-dalil yang ada dan menggunakannya semuanya.

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Sumber :

Al-Jami’ Li-Ahkami Ash-Shiyam, Prof. Dr. Khalid bin Ali al-Musyaiqih, penerbit : Maktabah ar-Rusyd, KSA, Jilid 4, hal.55-99. Dengan ringkasan

Keterangan :

[1] Masalah pertama, kedua, dan ketiga, dapat Anda baca di https://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=919 atau https://alsofwa.com/masalah-qadha-puasa-bagian-1/

[2] Masalah keempat dan kelima, dapat Anda baca di https://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=920 atau https://alsofwa.com/masalah-qadha-puasa-bagian-2/

[3] Masalah keenam, ketujuh, dan kedelapan, dapat Anda baca di https://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=974 atau https://alsofwa.com/masalah-qadha-puasa-bagian-3/

[4] Masalah kesmbilan sampai masalah ketiga belas, dapat Anda baca di http://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=1019

[5] Masalah keempat belas ini, dapat Anda baca di http://alsofwah.or.id/?pilih=lihatannur&id=1070

[6] Fathul Aziz, 6/456, al-Majmu’ 6/368, Syarh Muslim, 8/268, Fathul Baari, 4/194, Nailul Authar, 4/320.

Dan lihat : Hasyiyah Qalyubiy Wa Umairah, 2/86, Nailul Authar, 4/320.

[7] al-Furu’ 3/96, al-Inshaf, 3/335

[8] al-Majmu’, 6/368, al-Hawi al-Kabir, 3/452, al-Istidzkar, 10/169, Ibnu Baththal ‘Ala al-Bukhari, 4/100, al-Muhalla, 6/413, 422, as-Sunan al-Kubra, al-Baihaqi, 4/257, Fathul ‘Aziz, 6/457, al-Mughniy, 4/398, al-Majmu’, 6/343, Tahdzib Ibnu al-Qayyim ‘Ala Mukhtashar Sunan Abi Dawud, 3/281, Umdatul Qari, 11/59.

[9] Nailul Ma-aarib, 1/443

[10] as-Sunan al-Kubra, 4/457

[11] Al-Majmu’, 6/340

[12] Fathul Bari, 4/193

[13] Mukhtashar ath-Thahawi, hal. 55, al-Hidayah, 1/137, al-Mabsuth, 3/89, Bada-i’ ash-Shana-‘i, 2/165, Tabyin al-Haqa-iq, 1/334, al-Mudawwanah, 1/211, al-Muntaqa, 2/63, adz-Dzakhirah, 2/524, al-Istidzkar, 10/168, Bidayatu al-Mujtahid, 2/583, al-Umm, 2/115, al-Hawi al-Kabir, 3/452, al-Majmu’, 6/367, al-Mughni, 4/398, al-Mubdi’ 3/47.

[14] Lihat : al-Mabsuth, 3/89, at-Tajj wa al-Iklil, 2/450

[15] al-Bujairimi ‘Ala Manhaj ath-Thullab, 2/82

[16] al-Mughni, 4/398, 399, al-Mubdi’ 3/47, al-Inshaf, 7/501, 506, Ma’rifatu Uli an-Nuha, 3/84, 89

[17] Sunan Abu Dawud-kitab ash-Shaum- bab : Fii Man Maata Wa ‘alaihi Shiyam (2400), Sunnan at-Tirmidzi-kitab ash-Shaum-bab : Maa-jaa-a Fii al-Kaffarah (718), al-Istidzkar, 10/169, Ikmal al-Mu’allim, 4/104, Ibnu Baththal ‘Ala al-Bukhari, 4/100, ‘Aridhatul Ahwadzi, 3/240, Tafsir al-Qurthubi, 2/285, al-Muhalla, 6/413, al-Majmu’, 6/343, al-Mughni, 4/399, Ahkamu al-Fidyah, hal. 291.

[18] Tahdzibu Sunan Abi Dawud, 3/281

[19] al-Muhalla, 4/421

[20] Bidayatu al-Mujtahid, 1/300

[21] Bidayatu al-Mujtahid, 1/300, dan Syarh an-Nawawi Li Shahih Muslim

[22] An-Nisa : 11

[23] Shahihul Bukhari-kitab ash-Shaum- bab : Man Maata Wa ‘Alaihi Shaumun, hadis 1851, dan Muslim –kitab ash-Shiyam- bab : Qadhaa-u ash-Shiyam ‘anil Mayyiti, hadis, 1147.

[24] Shahih Muslim-kitab ash-Shiyam- bab : Qadha-u ash-Shaum ‘Anil Mayyiti, hadis no. 1149.

[25] at-Tamhiid Fii Takhriji al-Furu’ ‘Ala al-Ushuul, hal. 97, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 132, dan Ahkamu al-Fidyah Fii ash-Shalati Wa ash-Shiyami, 147

[26] Shahih al-Bukhari –kitab ash-Shaum- bab : Man Maata Wa ‘Alaihi Shaumun (hadis 1852), Muslim –kitab ash-Shiyam- bab : Qadha-u ash-Shiyam ‘An al-Mayyit, hadis no. 1148

[27] Shahihul Bukhari (1593), dan Muslim (1148)

[28] Shahih Ibnu Khuzaemah, 3/170, 271, 272, Syarh Muslim, an-Nawawi, 8/25, 26, al-Majmu’, 6/339, Ihkamul Ihkam, hal. 407, Taudhihul Ahkam, al-Bassam, 3/186. I’lam al-Anam, hal. 430, Ahkamul Fidyah, hal. 287.

[29] As-Sunan al-Kubra, 4/256

[30] al-Majmu’, 6/341

[31] al-An’am : 164

[32] an-Najm : 39]

[33][al-Baqarah : 184]

[34] Syarh Musykilul Atsar, 6/177, Bidayatu al-Mujtahid 1/506, 514, Ma’arif as-Sunan, 5/291, Ahkamul Fidyah, hal. 149

[35] al-Muntaqa, 2/63

[36] Al-Mabsuth, 3/89, al-Bada-i’, 2/103

[37] Mushannaf Abdurrazzaq, 4/237, no. 7635

[38] Sunan at-Tirmidzi di dalam ash-Shaum- bab : Maa-jaa-a Fi al-Kaffarah, hadis no. 718.

[39] Mushannaf Abdurrazzaq, 4/180.

[40] al-Muhalla, 4/425, dan diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Jashshash, dari hammad bin Salamah (Ahkamul Qur’an, 1/262). Dan, isnadnya hasan.

[41] yakni, perkaranya bertambah parah. Dan, beliau menghendaki dengan ungkapan tersebut ‘salah satu tahun paceklik di masa Nabi Yusuf-Úóáóíúåö ÇáÓøóáóÇãõ-. Maka, beliau menyerupakan keadaan orang tersebut dengan kondisi tahun tersebut dalam hal keparahan kondisinya. Atau, (beliau menyerupakannya) dengan malam-malam yang tujuh di mana Allah mengutus adzab pada malam-malam tersebut kepada kaum ‘Ad (an-Nihayah Fi Gharibi al-Atsar, 1/27)

[42] Mushannaf Abdurrazzaq, 4/180

[43] Musykilul Atsar, ath-Thahawiy, 3/142

[44] Disebutkan oleh al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra (4/257) secara mu’allaq dengan sighah at-Tamridh

[45] Fathul Qadir, 2/359, Nashbu ar-rayah, 2/264, Fathul Bariy, 4/194.

[46] al-Bada-‘i, 2/97, Syarh Umdah al-Fiqh, asy-Syinqithi, hal. 31, Ahkamu al-Fidyah Fi ash-Shalah wa ash-Shiyam, hal. 291.

[47] Lihat : al-Mabsuth, 4/157

[48] al-An’am : 164

[49] an-Najm : 39

[50] Al-Istidzkar, 10/173, Ma’alim as-Sunan, 2/105, umdatul Qari, 11/60, al-Mughni, 4/398

[51] Tafsir al-Qurthubi, 2/286

[52] Al-Mughni, 13/656, 657, az-Zarkasyi ‘Ala al-Khiraqi, 2/41, al-Furu’, 3/94, Ma’unah Uli an-Nuha, 3/86, tafsir al-Qurthubi, 2/285, Ikmal al-Mu’allim, 4/107, at-Tahqiq, Ibnul Jauzi, 5/385, 392, fathul bari, 4/193, nailul Authar, 5/317, Atuhfatul Ahwadzi, 3/406, dan Ahkamu al-Fidyah, hal. 150.

[53] Sunan Abu Dawud-kitab ash-Shiyam- bab : Fi man mata wa ‘alaihi shiyam (2401)

[54] an-Nisa : 11

Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits : index.php
Versi Online : index.php/?pilih=lihatannur&id=1071